Allnewsterkini. Com | Jakarta, – Dr. Hadiman, S.H., M.H., QRMP, Kasubdit Prapenuntutan pada Direktorat C di Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum), ditugaskan untuk mewakili Jampidum sebagai narasumber utama dalam acara strategis bertajuk “Gender Mainstreaming Insight: Equality in Action, Insight in Policy”. Kegiatan yang diadakan di Grand Ballroom The Tribrata, Jakarta Selatan, pada 17 Desember 2024 ini, dihadiri oleh seluruh Direktur Reserse Kriminal Umum (Ditkrimum) Polda se-Indonesia dan menjadi momentum peluncuran Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak (PPA) serta Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Sebagai narasumber, Dr. Hadiman menyampaikan materi penting terkait perbedaan penanganan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta kompleksitas hukum dalam melindungi Pekerja Migran Indonesia (PMI).
“Kasus TPPO sering kali sulit dibedakan dengan tindak pidana lain yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI. Namun, untuk dapat dikategorikan sebagai TPPO, unsur eksploitasi sebagaimana diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007 harus terpenuhi, seperti perekrutan, pengangkutan, penampungan, atau penggunaan dokumen palsu dengan tujuan eksploitasi,” ujar Dr. Hadiman.
Pentingnya Pendekatan Sensitif terhadap Korban
Dalam pemaparannya, Dr. Hadiman menekankan pentingnya pendekatan hukum yang berorientasi pada korban (victim-centered approach). Ia menggarisbawahi bahwa proses hukum harus dilakukan dengan sikap sensitif, tidak interogatif, serta bebas dari intimidasi maupun pelecehan terhadap korban.
“Institusi penegak hukum harus menempatkan korban sebagai subjek utama. Dengan pendekatan ini, korban tidak hanya terlindungi, tetapi juga merasa didukung dalam proses hukum,” ungkapnya.
Tantangan Penanganan TPPO dan Kejahatan Berbasis Gender
Lebih lanjut, Dr. Hadiman menjelaskan berbagai tantangan yang masih dihadapi dalam penanganan TPPO. Salah satunya adalah pola pikir aparat hukum yang kerap terfokus pada pelaku, serta minimnya mekanisme restitusi bagi korban. Ia menekankan perlunya pelatihan berkelanjutan bagi jaksa dan peningkatan kolaborasi dengan lembaga-lembaga terkait.
Acara ini juga menjadi ajang kolaborasi antarlembaga, termasuk dengan Bareskrim Polri yang dipimpin oleh Brigjen Desy Andriany sebagai Direktur PPA-PPO sekaligus panitia pelaksana. Dengan diluncurkannya Direktorat PPA dan PPO, diharapkan upaya penegakan hukum terhadap kejahatan berbasis gender dapat semakin efektif di seluruh Indonesia.
“Langkah ini adalah wujud komitmen bersama dalam memberantas kejahatan terhadap perempuan dan anak, serta perdagangan orang, sekaligus melindungi kelompok rentan seperti Pekerja Migran Indonesia,” tutup Dr. Hadiman.(Ril)
Komentar