Allnewsterkini. Com | Pekanbaru-Dalam menjunjung tinggi perlindungan terhadap status kewarganegaraan bagi warga, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) menjadi panduan yang sangat penting. Pasal 28D ayat (4) UUD NRI 1945 dengan jelas menyatakan bahwa ‘setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.’
Hal ini ditegaskan oleh Staf Khusus Menteri Hukum dan HAM Bidang Transformasi Digital, Fajar B.S Lase saat menjadi Keynote Speech dalam Workshop Pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan Di Bidang Pewarganegaraan di Grand Zuri Hotel Pekanbaru, Rabu (25/10/2023).
Dalam workshop yang bertema ‘Pemerintah Hadir Memberi Solusi Pewarganegaraan Melalui PP 21 tahun 2022’ ini, Fajar B.S Lase menjelaskan, hak atas status kewarganegaraan mengandung makna tidak hanya hak untuk memperoleh status kewarganegaraan, tetapi juga termasuk hak untuk merubah serta hak untuk mempertahankan status kewarganegaraan.
“Yang terpenting adalah bahwa tidak boleh adanya keadaan seseorang tanpa kewarganegaraan, karena UUD NRI Tahun 1945 sudah memberikan jaminan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan,” tegasnya.
Kemudian, Fajar Lase memaparkan tentang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang mengadopsi prinsip kewarganegaraan tunggal, menekankan pentingnya hubungan lahiriyah antara warga negara dan negara asalnya. Prinsip ini memastikan bahwa setiap warga negara memiliki hubungan erat dengan negara, yang kemudian memberikan hak dan kewajiban yang sesuai.
“Dalam konteks ini, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 telah mendapat respons positif, terutama dari pelaku perkawinan campur. Undang-Undang ini mengadopsi asas kewarganegaraan ganda terbatas, yang memberikan anak-anak hasil perkawinan campur hak kewarganegaraan ganda sampai dengan usia 18 tahun, saat mereka harus memilih satu kewarganegaraan,” pungkasnya.
Namun, lanjutnya, seiring perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat, aturan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dianggap kurang memenuhi rasa keadilan sehingga dirasa perlu untuk dilakukan penyesuaian dalam rangka meningkatkan pelayanan kewarganegaraan kepada masyarakat, serta demi kepastian hukum status kewarganegaraan seseorang terutama bagi anak hasil perkawinan antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing yang tidak didaftarkan berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006.
Selain itu juga perlu diatur ketentuan bagi anak-anak yang sudah mendaftar namun hingga melewati batas waktu yang ditentukan yaitu 21 tahun tetapi tidak memilih kewarganegaraan Republik Indonesia.
“Sebagai bentuk kehadiran negara kepada anak yang belum mendaftar atau sudah mendaftar tetapi belum memilih kewarganegaraan, maka ditetapkanlah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia,” ungkapnya lagi.
Fajar B.S Lase menjelaskan bahwa peraturan ini memberikan batasan waktu selama dua tahun untuk mengajukan permohonan perubahan status kewarganegaraan anak-anak yang belum terdaftar atau belum memilih kewarganegaraan.
“Peraturan ini hadir untuk memberikan kepastian terhadap status kewarganegaraan bagi anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (1) Peraturan Pemerintah tersebut, dengan jangka waktu permohonan yang dibatasi 2 (dua) tahun sejak peraturan diundangkan dan akan berakhir pada tanggal 31 Mei 2024,” imbuhnya.
Ditambahkannya, regulasi ini disusun untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia, serta merupakan pintu masuk bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk dapat berkontribusi kepada pembangunan. “Workshop seperti ini diharapkan akan membantu masyarakat dalam memahami perubahan hukum terkait dengan kewarganegaraan,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Kanwil Kemenkumham Riau Budi Argap Situngkir menjelaskan, status kewarganegaraan merupakan hal yang sangat fundamental yang harus dimiliki oleh setap warga negara. Dengan dimilikinya status kewarganegaraan maka seseorang akan mempunyai kepastian hukum dalam melakukan aktifitasnya.
“Sehingga hak-hak asasi mereka dihadapan hukum dapat terpenuhi. Oleh sebab itu, hukum harus dapat memberi solusi dari setiap permasalahan yang terjadi dari kewarganegaraan,” imbuhnya.
Dikatakannya, saat ini terdapat 5390 jumlah anak yang tidak mendaftar sebagai subjek anak berkewarganegaraan ganda dan anak yang mendaftar tetapi belum memilih kewarganegaraan ri yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Oleh karena itu kesempatan untuk memperoleh kewarganegaraan RI berdasarkan ketentuan peralihan Pasal 41 UU 12 TAHUN 2006 Telah Terlampaui, UNDANG-UNDANG A Quo tetap memberikan jalan untuk mewujudkan keinginan tersebut melalui prosedur pewarganegaraan / naturalisasi dengan memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 8 undang-undang nomor 12 TAHUN 2006. Hal ini diputuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XIV/2016, dimana Ditetapkan Dalam Pasal 3A Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2022.
“Hal ini akan memudahkan anak hasil perkawinan campuran yang terlambat mendaftarkan dirinya sebagai wni dalam ketentuan peralihan Pasal 41 UU 12 tahun 2006 dan berkeinginan menjadi wni dapat melalui pasal 8 Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 yakni naturalisasi dengan membayar PNBP yang lebih rendah sebesar Rp5.000.000,” imbuhnya.
Dalam workshop ini juga menghadirkan sejumlah narasumber, yakni Mas Arie Yuliansa Dwi Putra selaku Kepala Divisi Keimigrasian Kanwil Kementerian Hukum Dan HAM Riau; Irma Novrita selaku Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Pekanbaru.
Dalam kegiatan ini juga dihadiri 155 peserta, terdiri dari perwakilan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Riau, UPT Kantor Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Riau Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Riau, Pelaku Perkawinan Campur, pemohon pewarganegaraan, akademisi/mahasiswa/pelajar serta masyarakat umum.(ril)
Komentar